Blog Archive

Minggu, 12 Mei 2013


Selamat Datang di Kampung Budaya Sindang Barang Bogor


      “Bhinneka Tunggal Ika” adalah motto atau semboyan kita yang berasal dari Jawa Kuno. Seringkali diterjemahkan sebagai “Berbeda-beda namun tetap satu” .  Dari sabang sampai merauke terbentang luas keaneka ragaman baik budaya, etnis, suku, ras, dan agama di Indonesia. Sebagai bangsa yang pluralis, seharusnya kita bangga akan kekayaan yang tidak hanya dari alam namun juga dari segi budaya.
      Kali ini saya melakukan observasi ke Kampung Budaya Sindang Barang yang terletak di Bogor , Jawa Barat. Nama daerahnya adalah Kampung Budaya Sindangbarang terletak di kampung Sindangbarang, desa Pasir Eurih, kecamatan Tamansari, kabupaten Bogor - Jawa Barat. Jarak dari kota Bogor ke kampung budaya ini sekitar 5KM terdiri dari 14 RW dan 54 RT, dengan jumlah penduduk mencapai 12.000 jiwa. Curah hujannya sedang. Suhunya berkisar 23 derajat celcius di malam hari dan 30 derajat celcius di siang hari. Masyarakatnya mayoritas menganut agama Islam.
      Saya pergi ke sana bersama ketiga teman saya menggunakan mobil. Dengan bermodal GPS, kami nekat pergi ke sana. Karena sebelumnya kami ingin pergi ke Jogjakarta, sayangnya kedua teman kami mengalami kecelakaan sehari sebelum keberangkatan. Akhirnya kami memutuskan untuk mengurungkan niat kami pergi ke Jogjakarta.
      Akhirnya Sindang Baranglah tempat yang saya dan teman-teman pilih untuk observasi. Kami berangkat sekitar pukul 14.00 dini hari, karena sesampainya di sana hari sudah gelap akhirnya kami memutuskan untuk menginap disana.
      Sebelum saya berangkat ke Sindang Barang, saya sudah berkomunikasi by phone  dengan kepala adat Sindang Barang. Kepala Adatnya bernama Achmad Mikami Sumawijaya. Namun beliau sedang pergi ke Jogjakarta sehingga beliau meminta pengurus kampung Sindang Barang bernama Kang Oman menyambut kami dan menyediakan imah untuk kami bermalam.
      Sesampainya di Sindang Barang, langit sudah senja. Sebentar lagi bulan mau naik tepat di atas kepala. Beruntung saya masih bisa melihat ke sekitar walaupun samar-samar. Track menuju Sindang Barang cukup terjal dan menanjak. Sempat ngeri di dalam mobil, karena agak gerimis sehingga jalan yang berlapis tanah merah dan bebatuan licin, saat menanjak mobil sempat hampir tergelincir mundur ke bawah.
      Karena hari sudah malam di sana, saya dan teman-teman tidak bisa langsung meliput  kegiatan disana dan melakukan observasi. Akhirnya kami memutuskan untuk mencari makan dan berkeliling kota bogor sejenak. Menikmati bubur ayam di tengah dinginnya malam dan rintik hujan, segelas teh panas, nasi goreng kambing, dan martabak sekedar untuk mengisi perut .
      Sebelumnya saya akan menceritakan sedikit sejarah mengenai Kampung Budaya Sindang Barang ini. Sebetulnya Kampung Budaya ini masih berkaitan erat dengan suku Baduy. Di awali dengan hancurnya kerajaan Padjajaran yang menyebabkan keluarga kerajaan terpisah. Putra Mahkota Padjajaran yang terpisah akhirnya mendirikan desa di Sukabumi. Disanalah mereka tinggal dan memiliki keturunan. Namun keluarga mereka harus bersumpah untuk tidak boleh mengaku bahwa mereka keturunan dari Kerajaan Padjajaran. Beginilah sejarah singkat yang disampaikan oleh Kang Ukad yang adalah penanggung jawab di saat kepala suku / pupuhu sedang tidak berada di tempat.
      Kami tinggal di Imah Panengeun 1.  Imah ini bisa diisi 6 orang sampai dengan 8 orang. Kasurnya pun besar ada 2 lapis, bisa ditiduri 4 orang. Di dalamnya sudah terdapat TV, air minum, tempat duduk dari keraton, dan gelas seperti kendi. Dindingnya pun bukan berupa tembok melainkan bilik-bilik. Sehingga saat tidur suka banyak nyamuk yang ganggu. Hehe.. Kebanyakan rumah orang sunda berbentuk panggung. Ini disebabkan karena pada jaman dulu dipercaya orang Sunda dekat dengan alam, jadi mereka menggunakan rotan ,pohon aren, dan bambu yang merupakan bahan baku dari alam untuk membangun rumah mereka .
      Imah Gede adalah susunan rumah panggung yang berada di Kampung Budaya ini. Kepala suku yang tinggal di tempat ini. Konon katanya kepala suku harus tinggal di atas bukit yang tinggi yang disebut dengan Imah Gede ini.  Layaknya seorang bos, kepala suku juga punya sekretaris atau asisten yang bertugas membantunya. Sebutan untuk sekretaris di kampung ini adalah Gilang Serat yang tinggal bersebelahan dengan Imah Gede tempat kepala suku berada. Tujuannya agar kepala suku dapat lebih mudah berkomunikasi dengan gilang serat apabila ada keperluan.
      Kami datang bertepatan dengan kedatangan para guru bimbel yang mengajar di bogor untuk beraktivitas di Kampung Budaya ini. Nah, ada tempat yang dinamakan Saung Talu. Disinilah kegiatan seperti pertunjukkan kesenian diadakan dan tempat untuk berkumpul para pendatang dan warga setempat. Bentuk Saung Talu sendiri seperti panggung besar yang di atasnya ada alat musik angklung dan gamelan.
      Kepercayaan akan kekuatan gaib di kampung ini masih cukup terasa. Terbukti dengan simbol-simbol yang mereka gunakan yang dipercaya untuk menangkal setan atau roh halus. Contohnya seperti daun pohon rotan yang berada di setiap rumah mereka. Itu disebut sebagai kelenting angin yang dipercaya untuk menangkal makhluk halus atau roh jahat. Contoh lainnya yaitu “Waroge”. Waroge adalah lukisan yang diletakkan di depan pintu di depan Imah Gede. Waroge memiliki beberapa simbol. Yang pertama adalah simbol tanah atau Ratuning tutulak yang dipercaya sebagai penolak dari gangguan seperti kedengkian, kebencian, maupun gangguan dari manusia maupun makhluk gaib. Simbol lainnya yautu simbol api yang disebut dengan Haranghasuan , dipercaya berfungsi untuk membutakan mata gaib yang jahat yang hendak mengganggu kampung. Simbol air atau Wangapah yaitu penolak gangguan gaib yang jahat yang ada di air. Simbol angin atau wawayangan berfungsi untuk menjaga keselamatan dan kesejahteraan manusia/warga kampung dari malapetaka. Yang terakhir simbol batu atau Watu Panggilang yaitu penolak segala gangguan gaib jahat yang ada di batu. Kurang lebih dari tradisi semacam ini kita masih bisa merasakan kekuatan gaib yang masih erat sekali dengan kehidupan warga Kampung Budaya Sindang Barang



Ini adalah Pak Ukad. Kain yang dikenakan di kepalanya adalah kain hasil buatan Kampung Budaya asli loh. Kain yang dipakai Pak Ukad ini adalah simbol atau identitas sebagai kepala suku. Cara menggunakannya juga beragam.
       Kampung budaya Sindang Barang memiliki 27 bangunan adat. Enam bangunan diantaranya adalah Leuit atau lumbung padi yang dibangun berjejer menghadap lapangan rumput hijau yang subur. Hamparan petak-petak sawah juga melengkapi kampung budaya. Selain itu, kampung budaya Sindang Barang juga memiliki situs-situs purbakala sebagai bukti peninggalan Kerajaan Pajajaran yang berupa hamparan bukit berundak. Saya sendiri menyempatkan diri untuk menumbuk padi.


Disana saya dan teman-teman juga menyempatkan diri bermain enggrang dan juga bakiak.Sayangnya saya tidak sempat memfoto saat saya dan teman-teman bermain bakiak. 
Nah, sekarang waktunya menjelaskan kesenian yang ada di Kampung Budaya. Ada 8 kesenian. Kesenian yang pertama adalah kesenian Angklung Gubrak.
 Pagi-pagi benar saya disuguhkan dengan permainan angklung gubrak dari sekompulan nenek yang sudah berusia paruh baya bahkan lebih. Tapi mereka nampak sangat sehat dan lincah menggendong angklung berukuran besar di badannya. Bahkan mereka memainkan angklung sambil berjoget. Ada seorang nenek yang bisa dibilang pentolan dari kelompok angklung gubrak. Nenek ini berasal dari betawi. Beliau menceritakan sedikit soal pengalamannya sampai bisa tercemplung ke budaya pasundan/sunda.
      Berawal dari suami yang pensiun dan pindah  dari jakarta ke kota Bogor. Sampai akhirnya nenek ikut bergaul dengan warga sekitar dan bergabung dalam kelompok angklung gubrak. Dari sanalah beliau mendapat komunitas warga sindang barang yang berbahasa Sunda.
      Ada hal yang menarik disini. Terjadi pertukaran budaya. Akulturasi budaya antara betawi dengan sunda. Nenek ini menceritakan bagaimana sulitnya beliau belajar bahasa sunda pertama kali sampai akhirnya beliau bisa fasih berbahasa sunda. Nenek ini mengaku bahwa ia sudah sangat mencintai kebudayaan angklung gubrak dan tidak akan meninggalkan angklung gubrak walaupun ia asli orang betawi. Biasanya angklung gubrak digunakan sebagai pengiring saat acara serenan taun. Upacara ucapan syukur atas rejeki selama satu tahun dan berdoa agar rejeki di tahun depan dilancarkan.
       Kesenian lainnya yaitu Perebut Se’eng. Ini merupakan adat tradisi kawin. Jadi Perebut Se’eng ini dilakukan pada saat acara lamaran. Dilakukan dengan cara besan pria dan wanita berkumpul bersama dengan membawa masing-masing jago silat mereka. Para jago silat itu yang nantinya harus berebut se’eng, berbalas pantun. Maksudnya adalah  mengutarakan niat untuk melamar.
      Apabila se’eng tidak dapat diperebutkan oleh pihak pria, artinya pihak pria harus pupus harapan karena gagal mempersunting sang gadis. Tradisi ini masih ada sampai sekarang,bedanya sekarang sudah pakai skenario. Jadi, sang gadis sudah pasti jadi dipersunting.
      Saya juga diajak melihat peralatan memasak yang masih sangat tradisional.dengan alat-alatnya. Dan juga diajak untuk melihat aktivitas nandur atau menanam padi, menumbuk padi,dan juga menangkap ikan.  



















Ini Syikrul.Saiful-Irul anak Kampung Budaya Sindang Barang

Rabu, 01 Mei 2013

kisah si tukang parkir


Fellycia Stevie Sugiarto/11140110037
Kisah Si Tukang Parkir

“Brakkk ... !”
“Tolong...........! Tolong.....!”
Pria paruh baya terlihat tergeletak tak berdaya dengan darah yang mengalir dari tubuhnya. Kondisinya tak berdaya, namun dia masih tampak setengah sadar sambil terdengar rintihannya sekarat.
Jalanan Mangga Besar Jakarta sontak tersendat karena peristiwa tabrak lari siang itu.
Korban langsung dilarikan ke rumah sakit Husada, rumah sakit terdekat. Kondisinya luka parah. Dan seluruh tulang rusuk dan tulang belakangnya patah.

“Kejadiannya itu tahun 2001. Wa waktu itu sekarat. Hampir mati. Rasanya tangan,kaki,badan,sudah terpisah semua.Nafas aja susah. Satu-satu. Tapi puji Tuhan lah wa selamat.”

Selalu menjadi pandangan yang menarik perhatian saya, ketika melewati deretan ruko  Gading Serpong. Sosok tinggi semampai, kurus, berkulit coklat terpanggang sinar matahari, dan mata sipit. Ya saya yakin benar lelaki ini adalah orang etnis tionghoa. Dia tak bisa berjalan sempurna,jangankan berjalan, bahkan untuk berdiri saja susah. Tubuhnya terlihat lunglai dan seperti mau jatuh ke belakang. Dengan tongkat dia menyadarkan tumpuan untuk berdiri dan dengan lapisan pan yang dililit di sekeliling perut hingga dadanya.
            Pagi-pagi benar di saat tak banyak mobil lalu lalang, dia sudah berdiri di pinggir jalan untuk sekedar melambai tangan bak tukang parkir.
“trus.. truss.. kanan..ke kanan sedikit...” teriaknya dengan suara yang parau.

Bahkan tak jarang hujan-hujan pun, dia masih berdiri disana, dengan modal plastik di kepalanya untuk berlindung dari hujan.Pemandangan ini cukup mengiris hati. Hanya satu,dua orang terlihat memberinya sedikit uang.
            Minggu pagi, di gereja GKI Penabur Gading Serpong, biasa tempat saya dan keluarga pergi beribadah. Pagi ini untuk ke dua kalinya saya melihat sosok pria ini duduk di kursi roda dan ikut bersama-sama untuk beribadah. Kali ini saya memberanikan diri untuk berkenalan dan berbincang lebih lanjut dengan beliau.
            Tseng A Liong. Pria berumur 58 tahun. Panggil saja koh Aliong. Koh Aliong terkenal sebagai penjual kwetiau goreng yang enak di Mangga Besar. Tokonya selalu ramai dan jarang sekali sepi. Tak jarang, orang etnis tionghoa maupun pribumi menggemari masakan kwetiaw koh Aliong. Dia hanya punya satu istri dan satu anak perempuan. Perjalanan hidupnya cukup tragis.
            Sejak peristiwa tabrak lari yang menimpanya di tahun 2001, dia sudah tak sanggup lagi berdiri lama untuk memasak kwetiau. Dia sibuk mencari terapi dan dokter orthopedi untuk memperbaiki tulangnya agar sanggup menopang tubuhnya seperti sedia kala, Namun hasilnya nihil. Bahkan dia sudah menghabiskan banyak uang untuk biaya berobat.
            Koh Aliong menjadi tumpuan dari usaha rumah makannya. Sejak dia tertimpa musibah, keadaan rumah makan semakin tidak karuan. Sang istri tak sanggup mengurusnya. Tragisnya sang istri nekat gantung diri di toko miliknya sendiri setelah stres berat melihat koh Aliong yang tak kunjung sembuh.
           
“Sampai hari ini tulang wa ngilu bukan main kalau malam.Cuma bisa wa usap-usap balsam.” Koh Aliong sambil menepuk ringan punggung belakangnya.

            Sudah jatuh tertimpa tangga pula, setelah usahanya hancur dan kehilangan istrinya, koh Aliong harus menerima kenyataan anak semata wayangnya meninggalkannya pulang ke Medan bersama suaminya. Jadilah Koh Aliong sebatang kara tanpa ada yang mengurus.
            Dengan harta seadanya, yaitu sisa-sisa uang di tabungannya, di tahun 2004 koh Aliong pindah ke Gading Serpong, tempat dimana dia jauh dari pengalaman pahitnya.
“ Wa kesini ngikut temen kecil wa yang kerja di lapak besi punya orang cina medan juga sama kayak wa.Kerjanya cuma jagain tempat lapak aja. Yaa.. sama-sama dari satu kampung,jadi wa dibantu.”
Koh Aliong sempat tinggal di lapak besi yang berada di Legok sekitar satu tahun, tapi keadaannya menyusahkan orang sekitar, karena dia tidak bisa mandiri mengerjakan apa yang menjadi kebutuhannya.
“Wa sadarlah wa gak bisa bergantung sama orang terus, makanya wa disini sekarang.”
Seperti kehilangan semua harta yang dimilikinya. Koh Aliong berusaha mensyukuri segala berkat yang masih bisa dia peroleh. Seorang nasrani ini belajar dari tokoh Ayub dalam alkitab, yang kehilangan seluruh hartanya dan orang-orang yang dia cintai bahkan Ayub terkena penyakit. Namun Tuhan memiliki maksud dan rencana untuk kehidupan Ayub, inilah yang diimani koh Aliong.

Menghidupi dirinya sendiri dengan menjadi tukang parkir. Masih bangun setiap pagi dan bisa menghirup udara pagi adalah rezeki yang luar biasa bagi koh Aliong. flystv
           






Selasa, 19 Maret 2013

Sehari Bersama Rising Star


Sehari Bersama Rising Star
Ku berlari kau terdiam. Ku menangis kau tersenyum.Ku berduka kau bahagia.Ku pergi kau kembali. Ku coba meraih mimpi. Kau coba ‘tuk hentikan mimpi. Memang kita takkan menyatu.”
            Rasanya tak asing lagi rangkaian kalimat ini di kepala kita, langsung otomatis terulang-ulang lagu yang sedang menjadi hits akhir-akhir ini. Cakra Khan. Siapa yang tidak mengenal nama ini ?
            Melejit hanya dengan satu single “Harus Terpisah” dengan suaranya yang khas agak parau serak-serak basah .
            Perjalanan kali ini adalah untuk menemui seorang Rising Star Indonesia, yaitu Cakra Khan. Tak lama menempuh jarak sekitar 30 menit dari serpong menuju kawasan Kebon Jeruk. Kali ini kami mendatangi stasiun TV yang berlambang burung garuda itu . Ya.. Metro TV.
            Siang itu matahari menyengat kencang. Rasanya kulit serasa terpanggang. Saya masih saja terus mengipas-ngipas kan selembar kertas walaupun AC sudah dinyalakan di level tiga.  
            “Pak, parkiran dong tolong.” Minta rekan wanita saya kepada gerombolan satpam yang nampaknya dengan senang hati mencarikan parkiran kalau supirnya cantik.  
“Disini aja ya non, saya selipin sedikit disini, nanti saya jagain mobilnya.” Kata salah satu satpam dengan sedikit sumringah.
 Maju , mundur, maju lagi, mundur lagi. Sempat sulit memarkirkan mobil di area sesempit itu. Tapi apa daya, dari pada tidak ada lagi tempat parkir.
            “Cakra...Cakra..itu Cakraa” teriak salah satu rekan wanita saya yang masih duduk di kursi pengemudi.  Salah satu rekan saya ini memang merupakan Cakra Holic. Salah satu penggemar berat Cakra Khan. Saat itu kami bertujuan untuk mewawancara Cakra secara langsung.
            Rekan saya langsung saja meninggalkan mobil dan berusaha mengejar Cakra. Saya yang bukan merupakan fans Cakra cukup canggung melihat peristiwa iitu.  Berjalan memasuki pintu masuk Metro TV. Sudah banyak sekali Cakra Holic, di sana terlihat banyak sekali Cakra Holic yang meangantri untuk masuk ke dalam studio.Mereka berasal dari tempat beragam, tidak hanya dari Jakarta. Bahkan Cakra Holic berdatangan dari Bandung, Semarang, bahkan ada yang rela menginap di stasiun kereta api demi bertemu Cakra secara langsung, yaitu Mahdi . Bocah berusia 14 tahun. Dia merupakan penggemar berat Cakra Khan.
“Aku suka sekali sama Aa Cakra, Aku bela-belain tidur di stasiun supaya sampe jakarta. Ngeteng truk malam yang mau ke Jakarta. Ongkosku ndak cukup mbak, sisa 18.000” Kata Mahdi sembari meenunduk karena agak malu.
            Nampaknya kehadiran saya dan dua rekan saya cukup mengundang perhatian beberapa karyawan metro TV. Saat itu kami dihampiri oleh karyawan metro TV. Kami diminta menjadi penonton dalam acara TV “Just Alvin” dan diminta duduk di paling depan. Alasannya karena penampilan kami yang cantik dan ganteng. Bahkan saat itu kami diperlakukan bak kamilah artisnya. Kami jalan di barisan paling depan mendahului para Cakra Holic yang notabene adalah anak-anak SMA sekolah negri dan mereka sudah berjejer membentuk barisan panjang. Inilah realita dunia. Kejam .. Tampilan luar menjadi penentu seseorang akan diperlakukan lebih baik atau tidak.  
            Suasana ruangan Just Alvin saat itu dihiasi dengan stage yang beda dari biasanya tampil di TV. Dan ternyata betul saja kali itu adalah kali pertama episode “Just Alvin” menghadirkan audience di dalam ruangan. Kami dibriefing terlebih dahulu untuk bertepuk tangan memeriahkan acara.  Crew nya sangat ramah dan humoris, membuat penonton relax sehingga bisa menampilkan wajah ceria mereka ketika tersorot kamera.
            Alvin, Host yang cukup kondang itu memasuki ruangan. Dengan gayanya yang sedikit feminim dan pakaian jas rapi, suaranya yang sedikit mendayu terdengar  menyapa para penonton dengan ramah. Openning Acara dimeriahkan dengan tampilan Cakra Khan sebagai bintang tamu dengan lantunan single andalannya “Harus Terpisah”. Dengan sepatu boot nya , rompi jeans, kaos hijau, dan celana panjang  skinny Jeans, Cakra sukses melantunkan lagu dengan tidak sedikitpun nada meleset.
 Perfecto !
            “Betulan berbakat.” Kataku dalam hati.

            Disambut dengan tepuk tangan meriah dari Audience, Cakra segera menduduki kursi panas dan siap menjawab setiap pertanyaan Alvin sebagai Host. Sekitar satu jam shooting berlangsung. Setelah selesai shooting, para audience diberikan kesempatan untuk berfoto dahulu dengan para artis dan bintang tamu.
            Lagi-lagi untungnya menjadi orang yang berpenampilan rapi. Kami mendapat previllage interview Cakra secara langsung. Rekan perempuan saya yang juga merupakan Cakra Holic langsung saja melonjak bahagia karena bisa bertatap muka langsung dengan Cakra.
“ Langsung ke Trans TV mau gak ? Aku ada shooting lagi udah mepet waktunya.” Kara Cakra dengan ramah. Akhirnya kami langsung meluncur ke studio Trans TV,Mampang.
Sesampainya disana kami disambut ramah oleh manager Cakra yang adalah kakak kandungnya sendiri , bernama Mas Teguh. Keyboardis Cakra, Gerri, dan kakak ipar Cakra bernama Setiawan, serta crew Cakra yang lainnya.
            Dengan ramah kami disambut, dan langsung duduk berhadapan dengan Cakra.
“Kurang tidur banget nih, ,mataku sampai sakit.” Kata Cakra mencairkan suasana. Maka dimulailah interview kami.
            Pria kelahiran tahun 1992 ini ternyata masih mengecap pendidikan di Sekolah Tinggi Music Bandung. Pria yang logat bicaranya sangat kental dengan logat sunda ini menceritakan sedikit tentang asal usul nama belakangnya yang unik itu. Khan. Cakra mengakui ia terinspirasi dari  idolanya yaitu Shakka Khan.
“100 kali lipat banyaknya !” jawab Cakra antusias pada saat ditanya berapa kali lipat honor yang dia peroleh saat ini. Dengan wajah yang terlihat capek, dia berusaha mengingat kembali awal perjuangannya hingga menjadi seperti sekarang.
            Sebelumnya Cakra hanyalah seorang mahasiswa biasa yang menyukai musik. Orang tuanya mengingini dia untuk lebih fokus kepada pendidikan ketimbang bernyanyi.
“Kalau toh menyanyi dari panggung ke panggung hanya untuk sekedar menambah uang jajan saja.” Jelas Cakra
Single “Harus Terpisah” yang membawa Cakra pada kesuksesan ini sempat diperebutkan oleh artis tenar sekelas Afgan. Namun setelah lulus audisi, Cakra lah yang dipilih untuk membawakan lagu itu .
            Sekejap kehidupan Cakra berubah. Bahkan dia bisa membeli apapun yang dia inginkan. Dimulai dari gadget , mobil, bahkan berhasil membawa kedua orangtuanya pergi naik haji.
            “Cakra sekarang kegiatannya padet banget, sampe waktu tidur aja kurang.” Kata Teguh manager Cakra. Apa yang dirasakan Cakra sekarang berawal dari sebuah mimpi.Walaupun sudah berada di puncak kesuksesan, Cakra tetap menjadi Cakra yang dulu. Low profile dengan gayanya yang apa adanya. Sosok Cakra ini bisa dijadikan panutan bagi setiap kita untuk terus berani bermimpi dan tidak menyerah dalam menggapai cita-cita kita. Dream Big-Small Fear
flystv

Selasa, 26 Februari 2013

Fellycia Stevie Sugiarto NIM : 11140110037 Kenya Menangis


Fellycia Stevie Sugiarto
NIM : 11140110037
Kenya Menangis
            Bak narkoba menggerogoti tubuh, bak narkoba yang memberi efek kecanduan dan enak rasanya. Begitu lah korupsi. Nikmat sesaat , tapi hasilnya merusak , sungguh merusak.  Sama halnya dengan rokok, sudah tahu racun untuk tubuh, tapi masih berani untuk mencoba.
            Kondisi ironis inilah yang terjadi di Kenya. Sebagian besar masyarakat Kenya hidup di dalam belengu kemiskinan. Namun korupsi terus menggerogoti negara ini. Diperkirakan pada tahun 2002 sampai dengan 2005 di atas 1 juta triliun dolar hilang karena korupsi.
            Pada pemilihan kembali Presiden Kibaki di tahun 2007, sebanyak lebih dari 1100 orang terbunuh, dan lebih dari 600.000 orang dipindah paksa. Sungguh ironis.
            Di saat petinggi negara asik duduk minum teh bersama, masyarakat Kenya sibuk saling membunuh. Inilah yang dilihat dan diperjuangkan oleh seorang Boniface Mwangi. Seorang aktifis yang memiliki pemikiran radikal untuk tidak menyerah pada keadaan dan kehancuran di Kenya.Dia bergabung dalam  organisasi Picha Mtaani dengan kampanye revolusi Ballot. Pria berusia 29 tahun ini menentang adanya korupsi di politik Kenya.
“ So we’re using art to tell them we know who you are. We know you guys are thugs and we are fighting back to reclaim our country.”- Boniface Mwangi
            Nairobi adalah kota terbesar di Kenya. Bersama timnya Boniface mempersiapkan gebrakan ilegal yang merupakan aksi pertamanya untuk kontes politik korupsi. Lewat seni mereka membangkitkan pikiran dan mindset masyarakat Kenya untuk berjuang bersama memerangi ketidakadilan yang di terima rakyat Kenya. Grafitti. Sebuah lukisan di dinding berisi jeritan dan suara rakyat. Boniface mewakili suara seluruh rakyat yang terbungkam oleh ketakutan. Mereka marah , protes akan ketidakadilan , tapi terlalu pengecut untuk menyampaikan aspirasi mereka. Sosok Boniface muncul sebagai pahlawan.
            Bekerja dengan seniman visual dan media sosial ahli, Boniface menggunakan kombinasi in-your-face aktivisme untuk membantu Kenya menyadari kekuatan dari suara mereka dalam mengubah masa depan negara mereka.
            Aksi mereka dilakukan pada malam hari ketika tidak seorangpun yang melihat proses pembuatan Grafiti tersebut. Sehingga keesokan harinya masyarakat bahkan polisi sekalipun dapat melihat aspirasi mereka yang tertuangkan di dalam seni grafiti.
            Bukan hal yang mudah melakukan tindakan yang sungguh radikal ini. Penuh keberanian dan motivasi yang kuat. Boniface dan timnya harus keluar dari zona aman mereka yang cukup memacu adrenalin.
            Pro dan Kontra bermunculan saat masyarakat Kenya membaca tulisan di grafitti tersebut. Sebagian yang kontra merasa tindakan ini dapat menyulut perpecahan di Kenya. Tak lama kemudian, berselang satu minggu para polisi mulai mencari orang-orang yang bisa bertanggung jawab terhadap aksi ini. Polisi menawarkan kerja sama dengan Boniface dan tim nya. Mereka menjanjikan uang, Namun Boniface dan timnya menolak. Mereka takut tawaran itu bisa menjadi senjata makan tuan yang mengancam mereka.
            Boniface dipanggil oleh ke kantor polisi. Dia mengumpulkan masa untuk datang bersama-sama memenuhi panggilan kepolisian. Hal ini agar polisi tidak dapat menangkap satu orang aja. Dan berhasil, Boniface dibebaskan tanpa tuntutan apapun.
Ironisnya lagi, fakta di Kepolisian Kenya, Polisi Kenya sangat selektif dalam menjatuhkan hukuman. Mereka akan berpihak kepada yang kaya bahkan menawarkan perlindungan, dan menindas yang lemah dan miskin.
            Background Boniface sebelumnya adalah seorang jurnalis foto. Partner kerjanya Elijah Kanyi. Mereka memfoto sebuah tempat di Mathare, sebuah tempat kumuh yang menjadi korban kekerasan di pemilihan Presiden Desember  tahun 2007. Hasil jepretan mereka telah berhasil memenangkan beberapa penghargaan.
            Mwai Kibaki dinobatkan sebagai President setelah pemilihan di tahun 2007. Sontak kejadian ini menuai kontra dari pihak oposisi dan memicu kekerasan etnis. Terdapat banyak korban kekerasan pada saat itu, dan Boniface mengabadikan kejadian tersebut.
            Inilah tantangan dari profesi Boniface. Mengalahkan ketakutan dalam dirinya untuk melaksanakan tugas. Walaupun taku, Boniface tetap pergi dan memberikan informasi kepada khalayak agar mereka yang di luar sana mengetahui apa yang sedang terjadi lewat foto-foto Boniface.ICC (International Criminal Court) menyelidiki peran politisi teratas yang dimainkan dalam memicu kekerasan. Politisi dituduh menghasut konflik suku dan mempersenjatai milisi dan pendanaan.
            Dari pekerjaan yang digeluti Boniface, banyak tekanan yang dia alami. Dia harus melihat dan menyaksikan bunuh diri,penyiksaan,ketidak adilan. Saat ia kembali kepada pekerjaan normalnya, dia harus ditugaskan untuk menutupi kesalahan para penjahat. Dan Boniface sangat marah. Banyak hal yang dia pikirkan tentang kejahatan di luar sana. Maka,daripada dia harus membunuh dirinya sendiri akhirnya Boniface memutuskan untuk quit dari pekerjaannya.
            Boniface mencoba Picha Mtaani , yaitu semacam aksi pameran di jalanan. Yang dilakukan adalah memajang foto-foto kekerasan yang terjadi di Kenya dan memajangnya di jalanan.  Sjak 2009, Boniface telah melakukan aksi ini di 20 kota di Kenya . Lebih dari 700.000 orang telah melihat Picha Mtaani ini. Hal ini banyak menuai kontra karena banyak masyarakat yang merasa terhantui dengan kekerasan yang mereka alami di Kenya.
            Namun ada satu keyakinan Boniface bahwa apabila kesedihan itu diungkap maka rakyat Kenya akan bangkit dan menuntut kembali keadilan untuk mereka. Karena Kenya harus “sembuh” ...
            Boniface dan timnya mulai mempersiapkan lagi grafitti. Cara yang radikal untuk berkampanye. Ketakutan cukup meliputi Boniface dan timnya. Namun akhirnya grafiti itu dihapus oleh pemerintah.
            Sekitar 85 KM dari Nairibi tepatnya di kota Maivasha , Boniface menggelar pameran kembali di kota ini. Namun. Pemerintah memintanya untuk menghentikan pamerannya foto-foto yang dianggap berlebihan.
            Kembali ke Nairobi, tak lelah Boniface menyiapkan materi untuk kampanye berikutnya. Yaitu 49 peti mati yang akan dibawa ke parlemen. Pagi hari Boniface bersama dengan orang-orang pergi menuju gedung parlemen. Dia ingin menunjukkan bahwa aksinya bukan untuk menunjukkan kebencian melainkan perdamaian.
            Tak lama waktu berselang. Hanya sekitar 15 menit saja, semua peti dibersihkan oleh aparat keamanan. Namun sosok Boniface tetap tidak mengenal kata menyerah. -flystv