Selamat
Datang di Kampung Budaya Sindang Barang Bogor
“Bhinneka Tunggal Ika”
adalah motto atau semboyan kita yang berasal dari Jawa Kuno. Seringkali
diterjemahkan sebagai “Berbeda-beda namun tetap satu” . Dari sabang sampai merauke terbentang luas keaneka
ragaman baik budaya, etnis, suku, ras, dan agama di Indonesia. Sebagai bangsa
yang pluralis, seharusnya kita bangga akan kekayaan yang tidak hanya dari alam
namun juga dari segi budaya.
Kali ini saya melakukan
observasi ke Kampung Budaya Sindang Barang yang terletak di Bogor , Jawa Barat.
Nama daerahnya adalah Kampung Budaya
Sindangbarang terletak di kampung Sindangbarang, desa Pasir Eurih, kecamatan
Tamansari, kabupaten Bogor - Jawa Barat. Jarak dari
kota Bogor ke kampung budaya ini sekitar 5KM terdiri dari 14 RW dan 54 RT,
dengan jumlah penduduk mencapai 12.000 jiwa. Curah hujannya sedang. Suhunya
berkisar 23 derajat celcius di malam hari dan 30 derajat celcius di siang hari.
Masyarakatnya mayoritas menganut agama Islam.
Saya pergi ke sana bersama
ketiga teman saya menggunakan mobil. Dengan bermodal GPS, kami nekat pergi ke
sana. Karena sebelumnya kami ingin pergi ke Jogjakarta, sayangnya kedua teman
kami mengalami kecelakaan sehari sebelum keberangkatan. Akhirnya kami
memutuskan untuk mengurungkan niat kami pergi ke Jogjakarta.
Akhirnya Sindang Baranglah
tempat yang saya dan teman-teman pilih untuk observasi. Kami berangkat sekitar
pukul 14.00 dini hari, karena sesampainya di sana hari sudah gelap akhirnya
kami memutuskan untuk menginap disana.
Sebelum saya berangkat ke
Sindang Barang, saya sudah berkomunikasi by
phone dengan kepala adat Sindang
Barang. Kepala Adatnya bernama Achmad Mikami Sumawijaya. Namun beliau sedang
pergi ke Jogjakarta sehingga beliau meminta pengurus kampung Sindang Barang
bernama Kang Oman menyambut kami dan menyediakan imah untuk kami bermalam.
Sesampainya di Sindang
Barang, langit sudah senja. Sebentar lagi bulan mau naik tepat di atas kepala.
Beruntung saya masih bisa melihat ke sekitar walaupun samar-samar. Track menuju
Sindang Barang cukup terjal dan menanjak. Sempat ngeri di dalam mobil, karena
agak gerimis sehingga jalan yang berlapis tanah merah dan bebatuan licin, saat
menanjak mobil sempat hampir tergelincir mundur ke bawah.
Karena hari sudah malam di
sana, saya dan teman-teman tidak bisa langsung meliput kegiatan disana dan melakukan observasi.
Akhirnya kami memutuskan untuk mencari makan dan berkeliling kota bogor
sejenak. Menikmati bubur ayam di tengah dinginnya malam dan rintik hujan,
segelas teh panas, nasi goreng kambing, dan martabak sekedar untuk mengisi
perut .
Sebelumnya saya akan
menceritakan sedikit sejarah mengenai Kampung Budaya Sindang Barang ini.
Sebetulnya Kampung Budaya ini masih berkaitan erat dengan suku Baduy. Di awali
dengan hancurnya kerajaan Padjajaran yang menyebabkan keluarga kerajaan
terpisah. Putra Mahkota Padjajaran yang terpisah akhirnya mendirikan desa di
Sukabumi. Disanalah mereka tinggal dan memiliki keturunan. Namun keluarga
mereka harus bersumpah untuk tidak boleh mengaku bahwa mereka keturunan dari
Kerajaan Padjajaran. Beginilah sejarah singkat yang disampaikan oleh Kang Ukad
yang adalah penanggung jawab di saat kepala suku / pupuhu sedang tidak berada
di tempat.
Kami tinggal di Imah Panengeun
1. Imah ini bisa diisi 6 orang sampai
dengan 8 orang. Kasurnya pun besar ada 2 lapis, bisa ditiduri 4 orang. Di
dalamnya sudah terdapat TV, air minum, tempat duduk dari keraton, dan gelas
seperti kendi. Dindingnya pun bukan berupa tembok melainkan bilik-bilik.
Sehingga saat tidur suka banyak nyamuk yang ganggu. Hehe.. Kebanyakan rumah orang sunda berbentuk panggung. Ini disebabkan karena pada
jaman dulu dipercaya orang Sunda dekat dengan alam, jadi mereka menggunakan
rotan ,pohon aren, dan bambu yang merupakan bahan baku dari alam untuk
membangun rumah mereka .
Imah Gede adalah susunan
rumah panggung yang berada di Kampung Budaya ini. Kepala suku yang tinggal di
tempat ini. Konon katanya kepala suku harus tinggal di atas bukit yang tinggi
yang disebut dengan Imah Gede ini.
Layaknya seorang bos, kepala suku juga punya sekretaris atau asisten
yang bertugas membantunya. Sebutan untuk sekretaris di kampung ini adalah
Gilang Serat yang tinggal bersebelahan dengan Imah Gede tempat kepala suku
berada. Tujuannya agar kepala suku dapat lebih mudah berkomunikasi dengan
gilang serat apabila ada keperluan.
Kami datang bertepatan dengan
kedatangan para guru bimbel yang mengajar di bogor untuk beraktivitas di
Kampung Budaya ini. Nah, ada tempat yang dinamakan Saung Talu. Disinilah
kegiatan seperti pertunjukkan kesenian diadakan dan tempat untuk berkumpul para
pendatang dan warga setempat. Bentuk Saung Talu sendiri seperti panggung besar
yang di atasnya ada alat musik angklung dan gamelan.
Kepercayaan akan kekuatan
gaib di kampung ini masih cukup terasa. Terbukti dengan simbol-simbol yang
mereka gunakan yang dipercaya untuk menangkal setan atau roh halus. Contohnya
seperti daun pohon rotan yang berada di setiap rumah mereka. Itu disebut sebagai
kelenting angin yang dipercaya untuk menangkal makhluk halus atau roh jahat.
Contoh lainnya yaitu “Waroge”. Waroge adalah lukisan yang diletakkan di depan
pintu di depan Imah Gede. Waroge memiliki beberapa simbol. Yang pertama adalah
simbol tanah atau Ratuning tutulak yang dipercaya sebagai penolak dari gangguan
seperti kedengkian, kebencian, maupun gangguan dari manusia maupun makhluk
gaib. Simbol lainnya yautu simbol api yang disebut dengan Haranghasuan ,
dipercaya berfungsi untuk membutakan mata gaib yang jahat yang hendak
mengganggu kampung. Simbol air atau Wangapah yaitu penolak gangguan gaib yang
jahat yang ada di air. Simbol angin atau wawayangan berfungsi untuk menjaga
keselamatan dan kesejahteraan manusia/warga kampung dari malapetaka. Yang terakhir
simbol batu atau Watu Panggilang yaitu
penolak segala gangguan gaib jahat yang ada di batu. Kurang lebih dari tradisi
semacam ini kita masih bisa merasakan kekuatan gaib yang masih erat sekali
dengan kehidupan warga Kampung Budaya Sindang Barang
Ini adalah Pak Ukad. Kain yang dikenakan di
kepalanya adalah kain hasil buatan Kampung Budaya asli loh. Kain yang dipakai
Pak Ukad ini adalah simbol atau identitas sebagai kepala suku. Cara
menggunakannya juga beragam.
Kampung budaya Sindang Barang memiliki 27 bangunan adat. Enam bangunan
diantaranya adalah Leuit atau lumbung padi yang dibangun
berjejer menghadap lapangan rumput hijau yang subur. Hamparan petak-petak sawah
juga melengkapi kampung budaya. Selain itu, kampung budaya Sindang Barang juga
memiliki situs-situs purbakala sebagai bukti peninggalan Kerajaan Pajajaran
yang berupa hamparan bukit berundak. Saya sendiri menyempatkan diri untuk
menumbuk padi.
Disana saya dan teman-teman juga menyempatkan
diri bermain enggrang dan juga bakiak.Sayangnya saya tidak sempat memfoto saat
saya dan teman-teman bermain bakiak.
Nah, sekarang waktunya menjelaskan
kesenian yang ada di Kampung Budaya. Ada 8 kesenian. Kesenian yang pertama
adalah kesenian Angklung Gubrak.
Pagi-pagi benar saya disuguhkan dengan
permainan angklung gubrak dari sekompulan nenek yang sudah berusia paruh baya
bahkan lebih. Tapi mereka nampak sangat sehat dan lincah menggendong angklung
berukuran besar di badannya. Bahkan mereka memainkan angklung sambil berjoget.
Ada seorang nenek yang bisa dibilang pentolan dari kelompok angklung gubrak.
Nenek ini berasal dari betawi. Beliau menceritakan sedikit soal pengalamannya
sampai bisa tercemplung ke budaya pasundan/sunda.
Berawal
dari suami yang pensiun dan pindah dari
jakarta ke kota Bogor. Sampai akhirnya nenek ikut bergaul dengan warga sekitar
dan bergabung dalam kelompok angklung gubrak. Dari sanalah beliau mendapat
komunitas warga sindang barang yang berbahasa Sunda.
Ada
hal yang menarik disini. Terjadi pertukaran budaya. Akulturasi budaya antara
betawi dengan sunda. Nenek ini menceritakan bagaimana sulitnya beliau belajar
bahasa sunda pertama kali sampai akhirnya beliau bisa fasih berbahasa sunda.
Nenek ini mengaku bahwa ia sudah sangat mencintai kebudayaan angklung gubrak
dan tidak akan meninggalkan angklung gubrak walaupun ia asli orang betawi. Biasanya
angklung gubrak digunakan sebagai pengiring saat acara serenan taun. Upacara
ucapan syukur atas rejeki selama satu tahun dan berdoa agar rejeki di tahun
depan dilancarkan.
Kesenian lainnya yaitu Perebut Se’eng. Ini
merupakan adat tradisi kawin. Jadi Perebut Se’eng ini dilakukan pada saat acara
lamaran. Dilakukan dengan cara besan pria dan wanita berkumpul bersama dengan
membawa masing-masing jago silat mereka. Para jago silat itu yang nantinya
harus berebut se’eng, berbalas pantun. Maksudnya adalah mengutarakan niat untuk melamar.
Apabila
se’eng tidak dapat diperebutkan oleh pihak pria, artinya pihak pria harus pupus
harapan karena gagal mempersunting sang gadis. Tradisi ini masih ada sampai
sekarang,bedanya sekarang sudah pakai skenario. Jadi, sang gadis sudah pasti
jadi dipersunting.
Saya
juga diajak melihat peralatan memasak yang masih sangat tradisional.dengan
alat-alatnya. Dan juga diajak untuk melihat aktivitas nandur atau menanam padi,
menumbuk padi,dan juga menangkap ikan.
Ini
Syikrul.Saiful-Irul anak Kampung Budaya Sindang Barang